The sound of music

Film dengan genre musikal, memang masih minim di Indonesia. Utamanya yang mengangkat sejumlah karya band-band atau artis ternama ataupun dokumentasi mereka. Kalaupun ada, hanya beberapa saja.

Seperti yang belum lama berselang yakni film Kantata yang diangkat dari karya-karya musik kelompok Kantata yang dimotori oleh Yockie Suryporayogo, Iwan Fals, Setiawan Djody, Rendra, dll.

Sebelumnya, beberapa tahun silam ada juga film Iwan Fals yang bertajuk Damai Kami Sepanjang Hari yang memuat beberapa karya sang musisi.

Di era 70-an sampai 80-an, film musikal memang sudah ada di blantika film nasional. Bahkan, boleh dibilang lebih marak dibandingkan sekarang. Sebut saja film-film Benyamin Suaeb atau film-film Raja Dangdut Rhoma Irama.

“Film musikal seharusnya memang banyak dibuat di Indonesia. Selain fungsinya sebagai film seperti film lainnya, tapi juga bisa menjadi ajang pendokumentasian musik di Indonesia,” ungkap pengamat musik Bens Leo.

Film musikal memang diharapkan bisa lebih mudah meraih penonton. Film Slank, misalnya, tentu mengandalkan slanker saja diramalkan bisa ditonton ratusan ribu orang. Maklum, jumlah Slanker memang amat banyak dan tersebar di seluruh Indonesia.

Ini pula yang terjadi pada kesuksesan film-film Rhoma Irama. Mereka yang menyukai lagu-lagu milik raja dangdut itu menjadi pasar besar dari film-filmnya.

Namun persoalannya, film musikal memang harus tetap disajikan menarik, sehingga mengundang minat dari para fans dari band atau artis bersangkutan untuk menonton. Nah, untuk film Generasi Biru, boleh jadi ini bakal jadi persoalan. Pasalnya, film terlalu banyak pesan yang ditandai dengan simbol-simbol yang diungkap dengan penampilan para penari atau tokoh-tokoh absurd yang muncul di film ini.

“Kenapa Garin tidak membuat dokumenter Slank saja sih, film Generasi Biru jadi terlalu berat untuk para Slanker,” ungkap Afzan Raja, seorang penggemar Slank yang juga banyak menikmati berbagai film itu. Padahal, katanya, mengetahui apa saja yang dilakukan Bimbim dan kawan-kawan di balik panggung saja sudah menarik bagi para Slanker dan penonton.

Garin beralasan, Generasi Biru memang dibuat bukan untuk menjadi film dokumenter. “Tetapi, saya membuat film ini untuk bercerita tentang apa yang terjadi di Indonesia, tetapi melalui ‘kacamata’ Slank,” ujarnya.

Dan, seperti karya-karyanya yang lain, Garin tampaknya memang tidak terlalu peduli pada urusan pasar di Indonesia. Ia lebih banyak bermain di festival. Dan, terbukti, kalau di Berlinale Film Festival, film Generasi Biru mendapat sambutan positif.

Sejauh ini, film musikal di Indonesia memang baru sebatas pada upaya mengangkat cerita dari tema-tema lagu yang ada. Masih jarang film yang benar-benar merupakan dokumentasi perjalanan sebuah kelompok musik atau penyanyi.

Nah, rencana untuk memfilmkan sejarah kelompok musik God Bless yang rencananya akan digarap oleh ‘duet maut’ sineas Mira Lesmana dan Riri Riza diharapkan banyak orang menjadi sebuah dokumenter perjalanan sejarah band rock legenda Indonesia itu. Meski sampai sekarang memang masih belum ketahuan, kapan proyek film itu akan mulai dilaksanakan.

“Yang pasti memang banyak orang yang menunggu-nunggu film ini,”ungkap pengamat musik Danny Sakrie.

~ oleh christiandjahiras pada Februari 8, 2010.

Tinggalkan komentar